Ketika bicara pendidikan, tentulah
tidak selesai hanya dari sisi luar secara fisik semata. Esensi pendidikan
justru berada di “dalam”, mulai dari dalam kompleks gedung sekolah, dalam
kelas, hingga apa yang ada di dalam diri para tenaga pendidik alias guru, apa
yang ada di dalam diri para peserta didik alias para siswa, serta apa yang ada
di dalam benak masyarakat untuk merespon keberadaan dan keberlangsungan
pendidikan itu sendiri.
Hal yang tidak kasat mata inilah yang
sejatinya justru jauh lebih esensi dari segala fasilitas yang selama ini
dijadikan nomor satu dalam keberlangsungan pendidikan kita. Sekedar contoh,
sebuah sekolah boleh saja memiliki fasilitas gedung mewah dengan sistem
belajar-mengajar terkomputerisasi atau serba menggunakan IT. Tetapi jika semua
itu pada akhirnya tidak menghasilkan output yang mampu merespon dinamika
kehidupan riil yang ada di masyarakat, sebuah pendidikan tetaplah sia-sia.
Sementara itu yang disebut dinamika
kehidupan masyarakat tidaklah pernah berhenti dan mau menunggu untuk
menyesuaikan diri dengan output sekolah. Dalam konteks negatif, kerusakan
lingkungan, kemiskinan, dekadensi moral dan berbagai krisis sosial dan politik,
terus menerus bergulir melampaui nilai-nilai moral standar yang dicekokkan
kepada peserta didik di dalam kelas. Maka betapa tak berdayanya para siswa dan
generasi muda tamatan sekolah kita hingga saat ini ketika mereka harus terjun
ke masyarakat. Bahkan secara ekstrem, banyak siswa dan mahasiswa yang takut
tamat karena belakangan mereka menyadari betapa tak berdayanya pengetahuan dan
keterampilan mereka ketika berada di luar sekolah atau kampus.
Di lain hal, berbagai kemajuan yang
terjadi di luar gedung sekolah juga selalu membuat terkesiap generasi muda
setamat sekolah atau kuliah. Mereka terkaget-kaget dengan berbagai fakta
“kemajuan” yang tak pernah mereka terima dalam kelas. Pelajaran Matematika,
Fisika, Biologi, Kimia, dan jenis-jenis eksak lainnya yang mereka terima di
kelas, ternyata tak berarti apa-apa bahkan ketika mereka menghadapi kenyataan
di sebuah toko mainan anak-anak.
Pelajaran Sejarah, Sosiologi, Tata
Negara dan sejenisnya yang diberikan guru dan yang ada di buku-buku pelajaran,
ternyata tak berarti apa-apa ketika berhadapan dengan dinamika sosial budaya
masyarakat di luar kelas. Tak mampu mendorong responsibilitas generasi muda
atas berbagai fenomena kemajuan jaman. Satu contoh sederhana,
ketika pelajaran Sejarah dan Tata Negara di kelas masih berkutat dengan hapalan nama-nama pahlawan, nama-nama menteri, fungsi lembaga-lembaga tertinggi negara, di luar kelas mereka telah dilakukan berbagai amandemen undang-undang ketatanegaraan oleh para elit dan penguasa. Pada tataran praktek, maka apa yangbaku yang ada dalam buku
pelajaran ilmu-ilmu sosial dan ketatanegaraan di kelas pun begitu cepat menjadi
sesuatu yang ketinggalan atawa kedaluwarsa.
ketika pelajaran Sejarah dan Tata Negara di kelas masih berkutat dengan hapalan nama-nama pahlawan, nama-nama menteri, fungsi lembaga-lembaga tertinggi negara, di luar kelas mereka telah dilakukan berbagai amandemen undang-undang ketatanegaraan oleh para elit dan penguasa. Pada tataran praktek, maka apa yang
Jika mau jujur melihat kondisi dunia
pendidikan yang ada saat ini, sudah sepatutnya semua pihak untuk melakukan
evaluasi. Setidaknya, politisasi yang di era reformasi ini secara gencar memasuki
segala sisi dunia pendidikan, sudah harus diakhiri. Sudah sering disinggung
dalam berbagai forum, bahwa dunia pendidikan itu ibarat mata air. Jika mata air
itu direcoki dengan aspek-aspek kepentingan di luar kemulyaan pendidikan itu
sendiri, maka mata air itu pun akan menjadi keruh. Maka dari itu pula, dengan
mudah dapat ditebak, generasi macam apa yang akan lahir dari sistem pendidikan
yang keruh dan karut-marut?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar