Rabu, 05 Juni 2013

Pendidikan Luar Dalam

Ketika bicara pendidikan, tentulah tidak selesai hanya dari sisi luar secara fisik semata. Esensi pendidikan justru berada di “dalam”, mulai dari dalam kompleks gedung sekolah, dalam kelas, hingga apa yang ada di dalam diri para tenaga pendidik alias guru, apa yang ada di dalam diri para peserta didik alias para siswa, serta apa yang ada di dalam benak masyarakat untuk merespon keberadaan dan keberlangsungan pendidikan itu sendiri.

Hal yang tidak kasat mata inilah yang sejatinya justru jauh lebih esensi dari segala fasilitas yang selama ini dijadikan nomor satu dalam keberlangsungan pendidikan kita. Sekedar contoh, sebuah sekolah boleh saja memiliki fasilitas gedung mewah dengan sistem belajar-mengajar terkomputerisasi atau serba menggunakan IT. Tetapi jika semua itu pada akhirnya tidak menghasilkan output yang mampu merespon dinamika kehidupan riil yang ada di masyarakat, sebuah pendidikan tetaplah sia-sia.

Sementara itu yang disebut dinamika kehidupan masyarakat tidaklah pernah berhenti dan mau menunggu untuk menyesuaikan diri dengan output sekolah. Dalam konteks negatif, kerusakan lingkungan, kemiskinan, dekadensi moral dan berbagai krisis sosial dan politik, terus menerus bergulir melampaui nilai-nilai moral standar yang dicekokkan kepada peserta didik di dalam kelas. Maka betapa tak berdayanya para siswa dan generasi muda tamatan sekolah kita hingga saat ini ketika mereka harus terjun ke masyarakat. Bahkan secara ekstrem, banyak siswa dan mahasiswa yang takut tamat karena belakangan mereka menyadari betapa tak berdayanya pengetahuan dan keterampilan mereka ketika berada di luar sekolah atau kampus.

Di lain hal, berbagai kemajuan yang terjadi di luar gedung sekolah juga selalu membuat terkesiap generasi muda setamat sekolah atau kuliah. Mereka terkaget-kaget dengan berbagai fakta “kemajuan” yang tak pernah mereka terima dalam kelas. Pelajaran Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, dan jenis-jenis eksak lainnya yang mereka terima di kelas, ternyata tak berarti apa-apa bahkan ketika mereka menghadapi kenyataan di sebuah toko mainan anak-anak.

Pelajaran Sejarah, Sosiologi, Tata Negara dan sejenisnya yang diberikan guru dan yang ada di buku-buku pelajaran, ternyata tak berarti apa-apa ketika berhadapan dengan dinamika sosial budaya masyarakat di luar kelas. Tak mampu mendorong responsibilitas generasi muda atas berbagai fenomena kemajuan jaman. Satu contoh sederhana,
ketika pelajaran Sejarah dan Tata Negara di kelas masih berkutat dengan hapalan nama-nama pahlawan, nama-nama menteri, fungsi lembaga-lembaga tertinggi negara, di luar kelas mereka telah dilakukan berbagai amandemen undang-undang ketatanegaraan oleh para elit dan penguasa. Pada tataran praktek, maka apa yang baku yang ada dalam buku pelajaran ilmu-ilmu sosial dan ketatanegaraan di kelas pun begitu cepat menjadi sesuatu yang ketinggalan atawa kedaluwarsa.


Jika mau jujur melihat kondisi dunia pendidikan yang ada saat ini, sudah sepatutnya semua pihak untuk melakukan evaluasi. Setidaknya, politisasi yang di era reformasi ini secara gencar memasuki segala sisi dunia pendidikan, sudah harus diakhiri. Sudah sering disinggung dalam berbagai forum, bahwa dunia pendidikan itu ibarat mata air. Jika mata air itu direcoki dengan aspek-aspek kepentingan di luar kemulyaan pendidikan itu sendiri, maka mata air itu pun akan menjadi keruh. Maka dari itu pula, dengan mudah dapat ditebak, generasi macam apa yang akan lahir dari sistem pendidikan yang keruh dan karut-marut?

Tidak ada komentar: